Kerangka Kerja di Era Industri Internet
Internet sudah menjadi bagian dari ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Banyak orang mulai menyandarkan hidupnya di ranah teknologi informasi. Tampak sepele memang. Namun, sebuah laporan dari Deloitte Accesss Economics berikut ini yang dilansir dari Antaranews.com pada Desember 2011 lalu patut dipertimbangkan.
Bertajuk “Nusantara Terhubung: Peran Internet dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia”, laporan tersebut menyebutkan fakta bahwa internet saat ini berkontribusi sebesar 1,6 persen atau sekitar 116 Triliyun Rupiah (13 Milyar Dollar Amerika) terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia. Hal ini memposisikan internet sama pentingnya dengan gas alam cair (Liquid Natural Gas).
Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyebutkan bahwa internet di Indonesia diprediksi akan tumbuh hingga mencapai 2,5 persen dari PDB pada 2016 mendatang dengan nilai 324 triliun Rupiah.
Sebuah potensi yang sangat besar tentunya. Lalu, bagaimana masyarakat Indonesia memanfaatkan peluang ini?
Madanmohan Rao dalam bukunya berjudul News Media and New Media: The Asia-Pacific Internet Handbook, Episode V (2003) merumuskan sebuah kerangka kerja (frame work) di era industri internet dan diharapkan mampu meningkatkan sektor yang berhubungan dengan internet seperti media, pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan. Kerangka kerja tersebut dirumuskan dalam 8C, yaitu: Connectivity, Content, Community, Commerce, Capacity, Culture, Cooperation, Capital.
Connectivity (konektivitas) merupakan segala hal yang berhubungan dengan infrastruktur teknologi informasi, seperti: penetrasi PC, jumlah pengguna online, frekuensi penggunaan internet, penetrasi telepon seluler, jumlah media online berita, ketersediaan bandwith, tarif teknologi komunikasi, isu akses universal, dan regulasi untuk ISP.
Rao menyebutkan bahwa konektivitas merupakan syarat pertama terciptanya sebuah ekosistem online. Hal ini akan semakin kuat dengan meningkatnya kecepatan internet dan hadirnya perangkat-perangkat yang memungkinkan orang terkoneksi di mana pun mereka berada, seperti telepon pintar dan Tablet PC.
Kerangka kerja kedua adalah Content (konten). Adapun beberapa parameter yang Rao definisikan antara lain: jumlah situs web yang berbicara tentang sebuah negara dan dipublikasikan di dalamnya, konten lokal, konten meta (meta-content) seperti direktori dan mesin pencari, penggunaan bahasa lokal dan standarisasinya, dan layanan konten pendorong komersial (commerce driven).
Isu yang relevan lainnya berkaitan dengan konten antara lain: desain reportase dan penyampaian cerita, desain situs, sinergi lintas media, dan Sistem Pengelola Konten (Content Management System – CMS).
Sedangkan Community (komunitas) fokus terhadap teknologi sebagai media pembentuk komunitas, seperti situs komunitas, kelompok diskusi, forum email, dan ruang mengobrol (chat room). Lebih jauh, terbentuknya juga jaringan komunitas, jurnalisme partisipatif, dan blog pendorong komunitas (community driven).
Dalam industri internet, Rao berkesimpulan bahwa keberadaan komunitas telah menunjukan kebesaran internet. Media yang memiliki komunitas yang baik dan loyal, umumnya juga menjadi media yang besar. Rao mengambil contoh helaran Piala Dunia 2002 lalu yang membuat 2 juta orang berbondong-bondong mengunjungi situs olahraga UOL.com.
Contoh yang lebih baru adalah Facebook yang memiliki 845 juta pengguna pada 2011. Hal ini memperbesar keuntungannya dari 1,97 Milyar Dollar pada 2010 menjadi 3,71 Milyar Dollar pada 2011.
Keempat, adalah Commerce (perniagaan) yang merujuk pada usaha “menguangkan konten” yang dikenal dengan istilah Monetizing. Rao menjabarkannya dengan menarik dan mempertahankan lalu lintas kunjungan untuk menggapai target iklan pada situs web, pilihan variatif atas penjualan konten, dan penjualan fitur sindikasi.
Ada banyak model bisnis dalam aspek perniagaan ini, beberapa di antaranya yang Rao sebutkan adalah: konten bebas (free) didukung iklan, akses berbasis pembayaran, akses bertingkat (sebagian bebas, sebagiannya berbayar), bebas untuk pelanggan cetak saja, dan bebas untuk konten baru tapi berbayar untuk arsip.
Selanjutnya adalah Capacity (kapasitas) yang merujuk pada kapasitas inti manusia dan kompetensinya, baik dalam mengelola sebuah media maupun dalam beretika dan hukum cyber. Dalam hal ini, Rao menyebutkan bahwa kuncinya adalah pelatihan yang terus menerus tentang struktur yang baik dalam keahlian teknologi dan pengetahuan berbasis alur kerja.
Selain kapasitas, manusia dalam industri internet juga harus mengembangkan Culture (budaya). Rao menilai bahwa budaya merupakan kunci kesuksesan pengoperasian media online. Beberapa hal yang termasuk dalam hal ini, antara lain perilaku yang mengarah pada strategi jangka panjang dan pendek, lingkungan untuk entrepreneur dan intrapreneur, dan kemauan untuk mengambil resiko.
Sedangkan kerangka kerja ketujuh adalah Cooperation (kerjasama). Bagaimana pun, lanjut Rao, tidak akan ada sektor yang dapat bertahan dan berkembang dalam ekonomi internet bila tidak melakukan kerjasama. Termasuk dalam aspek ini adalah kerjasama dengan pengiklan, kerjasama antara perusahaan teknologi dan situs media, kolaborasi sektor swasta dan akademik, penanganan bersama kesenjangan digital, dan kerjasama antar mitra di seluruh dunia.
Tahap terakhir adalah Capital (kapital) yang merujuk pada permodalan dan pasar saham. Adapun parameternya antara lain: inkubasi dan pematangan pendanaan untuk pengembangan media baru serta kehadiran pasar saham terkait peningkatan aset publik untuk skalabilitas masa depan.
Untuk membangun industri internet yang baik, kedelapan kerangka kerja tersebut harus dilalui secara bertahap. Sayangnya, sebagian besar masyarakat internet Indonesia seringkali menginginkan hasil yang besar dalam waktu yang cepat. Tak heran bila akhirnya budaya Sangkuriang lah yang mereka terapkan. Sehingga jarang sekali ada perusahaan industri internet di Indonesia yang mampu besar dan bertahan lama.
Dalam hal ini, masyarakat industri Indonesia harus mengubah budaya (Culture) agar selaras dengan ritme industri internet. Kami sendiri melihat ada 3 aspek yang harus dibangun, yaitu: Konsistensi, Kesabaran, dan Ketekunan.
Konsistensi merujuk pada ketahanan sebuah perusahaan industri internet untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas konten dan komunitas dalam jangka waktu yang panjang. Tidak hanya bertahan, perusahaan industri internet juga harus mampu berkembang, baik dari segi produk maupun kapasitas manusia dan organisasinya.
Sedangkan Kesabaran mensyaratkan pemenuhan setiap proses dan langkah kerja secara bertahap,dan tidak terburu-buru. Adapun Ketekunan adalah menjalani setiap proses kerja dengan fokus, sungguh-sungguh, dan selalu belajar ketika menemukan hal-hal baru.
©2014 onlinejobindo.weebly.com
Bertajuk “Nusantara Terhubung: Peran Internet dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia”, laporan tersebut menyebutkan fakta bahwa internet saat ini berkontribusi sebesar 1,6 persen atau sekitar 116 Triliyun Rupiah (13 Milyar Dollar Amerika) terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia. Hal ini memposisikan internet sama pentingnya dengan gas alam cair (Liquid Natural Gas).
Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyebutkan bahwa internet di Indonesia diprediksi akan tumbuh hingga mencapai 2,5 persen dari PDB pada 2016 mendatang dengan nilai 324 triliun Rupiah.
Sebuah potensi yang sangat besar tentunya. Lalu, bagaimana masyarakat Indonesia memanfaatkan peluang ini?
Madanmohan Rao dalam bukunya berjudul News Media and New Media: The Asia-Pacific Internet Handbook, Episode V (2003) merumuskan sebuah kerangka kerja (frame work) di era industri internet dan diharapkan mampu meningkatkan sektor yang berhubungan dengan internet seperti media, pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan. Kerangka kerja tersebut dirumuskan dalam 8C, yaitu: Connectivity, Content, Community, Commerce, Capacity, Culture, Cooperation, Capital.
Connectivity (konektivitas) merupakan segala hal yang berhubungan dengan infrastruktur teknologi informasi, seperti: penetrasi PC, jumlah pengguna online, frekuensi penggunaan internet, penetrasi telepon seluler, jumlah media online berita, ketersediaan bandwith, tarif teknologi komunikasi, isu akses universal, dan regulasi untuk ISP.
Rao menyebutkan bahwa konektivitas merupakan syarat pertama terciptanya sebuah ekosistem online. Hal ini akan semakin kuat dengan meningkatnya kecepatan internet dan hadirnya perangkat-perangkat yang memungkinkan orang terkoneksi di mana pun mereka berada, seperti telepon pintar dan Tablet PC.
Kerangka kerja kedua adalah Content (konten). Adapun beberapa parameter yang Rao definisikan antara lain: jumlah situs web yang berbicara tentang sebuah negara dan dipublikasikan di dalamnya, konten lokal, konten meta (meta-content) seperti direktori dan mesin pencari, penggunaan bahasa lokal dan standarisasinya, dan layanan konten pendorong komersial (commerce driven).
Isu yang relevan lainnya berkaitan dengan konten antara lain: desain reportase dan penyampaian cerita, desain situs, sinergi lintas media, dan Sistem Pengelola Konten (Content Management System – CMS).
Sedangkan Community (komunitas) fokus terhadap teknologi sebagai media pembentuk komunitas, seperti situs komunitas, kelompok diskusi, forum email, dan ruang mengobrol (chat room). Lebih jauh, terbentuknya juga jaringan komunitas, jurnalisme partisipatif, dan blog pendorong komunitas (community driven).
Dalam industri internet, Rao berkesimpulan bahwa keberadaan komunitas telah menunjukan kebesaran internet. Media yang memiliki komunitas yang baik dan loyal, umumnya juga menjadi media yang besar. Rao mengambil contoh helaran Piala Dunia 2002 lalu yang membuat 2 juta orang berbondong-bondong mengunjungi situs olahraga UOL.com.
Contoh yang lebih baru adalah Facebook yang memiliki 845 juta pengguna pada 2011. Hal ini memperbesar keuntungannya dari 1,97 Milyar Dollar pada 2010 menjadi 3,71 Milyar Dollar pada 2011.
Keempat, adalah Commerce (perniagaan) yang merujuk pada usaha “menguangkan konten” yang dikenal dengan istilah Monetizing. Rao menjabarkannya dengan menarik dan mempertahankan lalu lintas kunjungan untuk menggapai target iklan pada situs web, pilihan variatif atas penjualan konten, dan penjualan fitur sindikasi.
Ada banyak model bisnis dalam aspek perniagaan ini, beberapa di antaranya yang Rao sebutkan adalah: konten bebas (free) didukung iklan, akses berbasis pembayaran, akses bertingkat (sebagian bebas, sebagiannya berbayar), bebas untuk pelanggan cetak saja, dan bebas untuk konten baru tapi berbayar untuk arsip.
Selanjutnya adalah Capacity (kapasitas) yang merujuk pada kapasitas inti manusia dan kompetensinya, baik dalam mengelola sebuah media maupun dalam beretika dan hukum cyber. Dalam hal ini, Rao menyebutkan bahwa kuncinya adalah pelatihan yang terus menerus tentang struktur yang baik dalam keahlian teknologi dan pengetahuan berbasis alur kerja.
Selain kapasitas, manusia dalam industri internet juga harus mengembangkan Culture (budaya). Rao menilai bahwa budaya merupakan kunci kesuksesan pengoperasian media online. Beberapa hal yang termasuk dalam hal ini, antara lain perilaku yang mengarah pada strategi jangka panjang dan pendek, lingkungan untuk entrepreneur dan intrapreneur, dan kemauan untuk mengambil resiko.
Sedangkan kerangka kerja ketujuh adalah Cooperation (kerjasama). Bagaimana pun, lanjut Rao, tidak akan ada sektor yang dapat bertahan dan berkembang dalam ekonomi internet bila tidak melakukan kerjasama. Termasuk dalam aspek ini adalah kerjasama dengan pengiklan, kerjasama antara perusahaan teknologi dan situs media, kolaborasi sektor swasta dan akademik, penanganan bersama kesenjangan digital, dan kerjasama antar mitra di seluruh dunia.
Tahap terakhir adalah Capital (kapital) yang merujuk pada permodalan dan pasar saham. Adapun parameternya antara lain: inkubasi dan pematangan pendanaan untuk pengembangan media baru serta kehadiran pasar saham terkait peningkatan aset publik untuk skalabilitas masa depan.
Untuk membangun industri internet yang baik, kedelapan kerangka kerja tersebut harus dilalui secara bertahap. Sayangnya, sebagian besar masyarakat internet Indonesia seringkali menginginkan hasil yang besar dalam waktu yang cepat. Tak heran bila akhirnya budaya Sangkuriang lah yang mereka terapkan. Sehingga jarang sekali ada perusahaan industri internet di Indonesia yang mampu besar dan bertahan lama.
Dalam hal ini, masyarakat industri Indonesia harus mengubah budaya (Culture) agar selaras dengan ritme industri internet. Kami sendiri melihat ada 3 aspek yang harus dibangun, yaitu: Konsistensi, Kesabaran, dan Ketekunan.
Konsistensi merujuk pada ketahanan sebuah perusahaan industri internet untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas konten dan komunitas dalam jangka waktu yang panjang. Tidak hanya bertahan, perusahaan industri internet juga harus mampu berkembang, baik dari segi produk maupun kapasitas manusia dan organisasinya.
Sedangkan Kesabaran mensyaratkan pemenuhan setiap proses dan langkah kerja secara bertahap,dan tidak terburu-buru. Adapun Ketekunan adalah menjalani setiap proses kerja dengan fokus, sungguh-sungguh, dan selalu belajar ketika menemukan hal-hal baru.
©2014 onlinejobindo.weebly.com